Telah Terbit

Telah Terbit
anda bisa memperolehnya di Sekretariat Amphiprion Scientific Club (ASC) FPIK Unhalu jm 08.00 WITA-16.00 WITA. Atau menghubungi Agen Kami : Syarwan (085756877699), Herman (085396040019) atau Lgsg menghubungi Penulis (085241612747). Untuk Delivery anda dapat mengirimkan alamat lengkap anda di no. penulis dan mengirimkan uangnya di No. Rekening kami. Stok terbatas, so dapatkan segera!

Selasa, 20 Maret 2012


EKOSISTEM MANGROVE DAN PENGELOLAANNYA
Oleh :
                                          ISMI MUSDALIFAH DARSAN       

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau sekitar 17.508 pulau dan panjang pantai kurang lebih 81.000 km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat besar, baik hayati maupun nonhayati. Pesisir merupakan wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini dipengaruhi oleh proses-proses yang ada di darat maupun yang ada di laut. Wilayah demikian disebut sebagai ekoton, yaitu daerah transisi yang sangat tajam antara dua atau lebih komunitas (Odum, 1983 dalam Kaswadji, 2001). Sebagai daerah transisi, ekoton dihuni oleh organisme yang berasal dari kedua komunitas tersebut, yang secara berangsur-angsur menghilang dan diganti oleh spesies lain yang merupakan ciri ekoton, dimana seringkali kelimpahannya lebih besar dari dari komunitas yang mengapitnya. Sebagai salah satu ekosistem pesisir, hutan mangrove merupakan ekosistem yang unik dan rawan.
Ekosistem ini mempunyai fungsi ekologis dan ekonomis. Fungsi ekologis hutan mangrove antara lain : pelindung garis pantai, mencegah intrusi air laut, habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi aneka biota perairan, serta sebagai pengatur iklim mikro. Sedangkan fungsi ekonominya antara lain : penghasil keperluan rumah tangga, penghasil keperluan industri, dan penghasil bibit.  manusia dalam memenuhi keperluan hidupnya dengan mengintervensi ekosistem mangrove. Hal ini dapat dilihat dari adanya alih fungsi lahan (mangrove) menjadi tambak, pemukiman, industri, dan sebagainya maupun penebangan oleh masyarakat untuk berbagai keperluan. Dampak ekologis akibat berkurang dan rusaknya ekosistem mangrove adalah hilangnya berbagai spesies flora dan fauna yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove, yang dalam jangka panjang akan mengganggu keseimbangan ekosistem mangrove khususnya dan ekosistem pesisir umumnya. Adanya jenis mangrove yang berbeda berdasarkan zonasi di sebabkan sifat fisiologis mangrove yang berbeda – beda untuk beradaptasi dengan lingkungannya.
Mangrove merupakan jenis tumbuhan yang memiliki toleransi yang tinggi terhadap kondisi lingkungan yang memiliki kadar garam yang berbeda – beda. Kemampuan beradaptasi mangrove untuk membuang kelebihan garam dalam jaringan tanaman menyebabkan mangrove dapat tumbuh subur. Keanekargaman mangrove bukan hanya karena kemampuan untuk beradaptasi dengan lingkungannya tetapi tidak terlepas juga adanya campur tangan manusia untuk memelihara. Pada saat ini keanekaragaman mangrove sudah menurun hal ini di sebabkan laju perubahan habitat akibat pembangunan tambak, penebangan hutan, sedimentasi, reklamasi, dan pencemaran lingkungan (Nybaken, 1993).
Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman jenis komposisi spesies hutan mangrove diperairan dengan parameter air yang sesuai, tergantung pada faktor-faktor cuaca, bentuk lahan pesisir, jarak antar pasang surut air laut, ketersediaan air tawar, dan tipe tanah.
Manfaat
Sebagai bahan informasi dalam pengelolan mangrove dengan memperhatikan tingkat salinitas air laut. Selain itu dapat juga digunakan sebagai acuan untuk penentuan zonasi dalam rangka rehabilitasi ekosistem mangrove.

PEMBAHASAN
Defenisi Hutan Mangrove dan Ekosistem Mangrove

            Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di daerah pantai yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak terpengaruh oleh iklim. Sedangkan daerah pantai adalah daratan yang terletak di bagian hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berbatasan dengan laut dan masih dipengaruhi oleh pasang surut, dengan kelerengan kurang dari 8% (Departemen Kehutanan, 1994 Santoso, 2000).
Menurut Nybakken (1992), hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Hutan mangrove meliputi pohon pohon dan semak yang tergolong ke dalam 8 famili, dan terdiri atas 12 genera tumbuhan berbunga : Avicennie, Sonneratia, Rhyzophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lummitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda, dan Conocarpus (Bengen, 2000).
Kata mangrove mempunyai dua arti, pertama sebagai komunitas, yaitu komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar garam/salinitas (pasang surut air laut); dan kedua sebagai individu spesies (Macnae, 1968 dalam Supriharyono, 2000). Namun menurut Khazali (1998), penyebutan mangrove sebagai bakau nampaknya kurang tepat karena bakau merupakan salah satu nama kelompok jenis tumbuhan yang ada di mangrove.
            Ekosistem mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya dan diantara makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir,
terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang khas dan mampu tumbuh dalam perairan asin/payau (Santoso, 2000).
Dalam suatu paparan mangrove di suatu daerah tidak harus terdapat semua jenis spesies mangrove (Hutching and Saenger, 1987 dalam Idawaty, 1999). Formasi hutan mangrove dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kekeringan, energi gelombang, kondisi pasang surut, sedimentasi, mineralogi, efek neotektonik (Jenning and Bird, 1967 dalam Idawaty, 1999). Sedangkan IUCN (1993), menyebutkan bahwa komposisi spesies dan karakteristik hutan mangrove tergantung pada faktor-faktor cuaca, bentuk lahan pesisir, jarak antar pasang surut air laut, ketersediaan air tawar, dan tipe tanah.
Daya Adaptasi Mangrove Terhadap Lingkungan
Tumbuhan mangrove mempunyai daya adaptasi yang khas terhadap lingkungan. Bengen (2001), menguraikan adaptasi tersebut dalam bentuk :
1.      Adaptasi terhadap kadar kadar oksigen rendah, menyebabkan mangrove memiliki bentuk perakaran yang khas : (1) bertipe cakar ayam yang mempunyai pneumatofora (misalnya : Avecennia spp., Xylocarpus., dan Sonneratia spp.) untuk mengambil oksigen dari udara; dan (2) bertipe penyangga/tongkat yang mempunyai lentisel (misalnya Rhyzophora spp.).
2.      Adaptasi terhadap kadar garam yang tinggi :
·         Memiliki sel-sel khusus dalam daun yang berfungsi untuk menyimpan garam.
·         Berdaun kuat dan tebal yang banyak mengandung air untuk mengatur keseimbangan garam.
·         Daunnya memiliki struktur stomata khusus untuk mengurangi penguapan.
3.      Adaptasi terhadap tanah yang kurang strabil dan adanya pasang surut, dengan cara mengembangkan struktur akar yang sangat ekstensif dan membentuk jaringan horisontal yang lebar. Di samping untuk memperkokoh pohon, akar tersebut juga berfungsi untuk mengambil unsur hara dan menahan sedimen.
Zonasi Hutan Mangrove
Menurut Bengen (2001), penyebaran dan zonasi hutan mangrove tergantung oleh berbagai faktor lingkungan. Berikut salah satu tipe zonasi hutan mangrore di Indonesia :
·         Daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir, sering ditumbuhi oleh Avicennia spp. Pada zona ini biasa berasosiasi Sonneratia spp. yang dominan tumbuh pada lumpur dalam yang kaya bahan organik.
·         Lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh Rhizophora spp. Di zona ini juga dijumpai Bruguiera spp. dan Xylocarpus spp.
·         Zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera spp.
·        Zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan dataran rendah biasa ditumbuhi oleh Nypa fruticans, dan beberapa spesies palem lainnya.



ARTI PENTING EKOSISTEM MANGROVE
Hubungan Ekosistem Mangrove dengan Ekosistem Lainnya
Ekosistem utama di daerah pesisir adalah ekosistem mangrove, ekosistem lamun dan ekosistem terumbu karang. Menurut Kaswadji (2001), tidak selalu ketiga ekosistem tersebut dijumpai, namun demikian apabila ketiganya dijumpai maka terdapat keterkaitan antara ketiganya. Masing-masing ekosistem mempunyai fungsi sendiri-sendiri. Ekosistem mangrove merupakan penghasil detritus, sumber nutrien dan bahan organik yang dibawa ke ekosistem padang lamun oleh arus laut. Sedangkan ekosistem lamun berfungsi sebagai penghasil bahan organik dan nutrien yang akan dibawa ke ekosistem terumbu karang. Selain itu, ekosistem lamun juga berfungsi sebagai penjebak sedimen (sedimen trap) sehingga sedimen tersebut tidak mengganggu kehidupan terumbu karang. Selanjutnya ekosistem terumbu karang dapat berfungsi sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak (gelombang) dan arus laut. Ekosistem mangrove juga berperan sebagai habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi organisme yang hidup di padang lamun ataupun terumbu karang.
Di samping hal-hal tersebut di atas, ekosistem tersebut juga menjadi tempat migrasi atau sekedar berkelana organisme-organisme perairan, dari hutan mangrove ke padang lamun kemudian ke terumbu karang atau sebaliknya (Kaswadji, 2001).

Manfaat Ekosistem Hutan Mangrove

Sebagaiman telah dijelaskan pada bagian pendahuluan, ekosistem hutan mangrove bermanfaat secara ekologis dan ekonomis. Fungsi ekologis dan ekonomis hutan mangrove adalah (Santoso dan H.W. Arifin, 1998) :
1.      Fungsi ekologis :
·         Pelindung garis pantai dari abrasi,
·         Mempercepat perluasan pantai melalui pengendapan,
·         Mencegah intrusi air laut ke daratan,
·         Tempat berpijah aneka biota laut,
·         Tempat berlindung dan berkembangbiak berbagai jenis burung, mamalia, reptil, danserangga, sebagai pengatur iklim mikro.

2.      Fungsi ekonomis :
·         Penghasil keperluan rumah tangga (kayu bakar, arang, bahan bangunan, bahan makanan, obat-obatan),
·         Penghasil keperluan industri (bahan baku kertas, tekstil, kosmetik, penyamak kulit, pewarna),
·         Penghasil bibit ikan, nener udang, kepiting, kerang, madu, dan telur burung,
·         Pariwisata, penelitian, dan pendidikan.

DAMPAK KEGIATAN MANUSIA TERHADAP EKOSISTEM
MANGROVE
Kegiatan manusia baik sengaja maupun tidak sengaja telah menimbulkan dampak terhadap ekosistem mangrove. Dapat disebutkan di sini beberapa aktivitas manusia terhadap ekosistem mangrove beserta dampaknya (Tabel 1).
Dampak dari aktivitas manusia terhadap ekosistem mangrove, menyebabkan luasan hutan mangrove turun cukup menghawatirkan. Luas hutan mangrove di Indonesia turun dari 5,21 juta hektar antara tahun 1982 – 1987, menjadi 3,24 hektar, dan
makin menyusut menjadi 2,5 juta hektar pada tahun 1993 (Widigdo, 2000). Bergantung cara pengukurannya, memang angka-angka di atas tidak sama antar peneliti. Khazali (1999), menyebut angka 3,5 juta hektar, sedangkan Lawrence (1998), menyebut kisaran antara 3,24 – 3,73 juta hektar.

Tabel 1 : Beberapa Dampak Kegiatan Manusia Terhadap Ekosistem Mangrove
Kegiatan
Dampak Potensial
Tebang habis
• • Berubahnya komposisi tumbuhan; pohon-pohon mangrove akan digantikan oleh spesies-spesies yang nilai ekonominya rendah dan hutan mangrove yang ditebang ini tidak lagi berfungsi sebagai daerah mencari makan (feeding ground) dan daerah pengasuhan (nursery ground) yang optimal bagi bermacam ikan dan udang stadium muda yang penting secara ekonomi.
Pengalihan
aliran air tawar,
misalnya pada
pembangunan
irigasi
• • Peningkatan salinitas hutan (rawa) mangrove menyebabkan dominasi  dari spesies-spesies yang lebih toleran terhadap air yang menjadi lebih asin; ikan dan udang dalam stadium larva dan juvenil mungkin tak dapat mentoleransi peningkatan salinitas, karena mereka lebih sensitive terhadap perubahan lingkungan.
• • Menurunnya tingkat kesuburan hutan mangrove karena pasokan zatzat
hara melalui aliran air tawar berkurang.
Konversi
menjadi lahan
pertanian,
perikanan
• • Mengancam regenerasi stok-stok ikan dan udang di perairan lepas
pantai yang memerlukan hutan (rawa) mangrove sebagai nursery
ground larva dan/atau stadium muda ikan dan udang.
• • Pencemaran laut oleh bahan-bahan pencemar yang sebelum hutan
mangrove dikonversi dapat diikat oleh substrat hutan mangrove.
• • Pendangkalan peraian pantai karena pengendapan sedimen yang
sebelum hutan mangrove dikonversi mengendap di hutan mangrove.
• • Intrusi garam melalui saluran-saluran alam yang bertahankan
keberadaannya atau melalui saluran-saluran buatan manusia yang
bermuara di laut.
• • Erosi garis pantai yang sebelumnya ditumbuhi mangrove.
Pembuangan
sampah cair
(Sewage)
• • Penurunan kandungan oksigen terlarut dalah air air, bahkan dapat
terjadi keadaan anoksik dalam air sehingga bahan organik yang
terdapat dalam sampah cair mengalami dekomposisi anaerobik yang
antara lain menghasilkan hidrogen sulfida (H2S) dan aminia (NH3)
yang keduanya merupakan racun bagi organisme hewani dalam air.
Bau H2S seperti telur busuk yang dapat dijadikan indikasi
berlangsungnya dekomposisi anaerobik.
Pembuangan
sampah padat
• • Kemungkinan terlapisnya pneumatofora dengan sampah padat yang
akan mengakibatkan kematian pohon-pohon mangrove.
• • Perembesan bahan-bahan pencemar dalam sampah padat yang
kemudian larut dalam air ke perairan di sekitar pembuangan sampah.
• • Pencemaran
minyak akibat
terjadinya
tumpahan
minyak dalam
jumlah besar.
• • Penambangan
dan ekstraksi
mineral.
• • Kematian pohon-pohon mangrove akibat terlapisnya pneumatofora
oleh lapisan minyak.
• • Kerusakan total di lokasi penambangan dan ekstraksi mineral yang
dapat mengakibatkan :
− − musnahnya daerah asuhan (nursery ground) bagi larva dan
bentuk-bentuk juvenil ikan dan udang yang bernilai ekonomi penting
di lepas pantai, dan dengan demikian mengancam regenerasi ikan dan
udang tersebut.

• • Pengendapan sedimen yang berlebihan dapat mengakibatkan :
− − Terlapisnya pneumatofora oleh sedimen yang pada akhirnya
dapat mematikan pohon mangrove.

Sumber : Berwick, 1983 dalam Dahuri, et al., 1996.

Strategi dan Pelaksanaan Rencana

Dalam kerangka pengelolaan dan pelestarian mangrove, terdapat dua konsep utama yang dapat diterapkan. Kedua konsep tersebut pada dasarnya memberikan legitimasi dan pengertian bahwa mangrove sangat memerlukan pengelolaan dan perlindungan agar dapat tetap lestari. Kedua kosep tersebut adalah perlindungan hutan mangrove dan rehabilitasi hutan mangrove (Bengen, 2001). Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam rangka perlindungan terhadap keberadaan hutan mangrove adalah dengan menunjuk suatu kawasan hutan mangrove untuk dijadikan kawasan konservasi, dan sebagai bentuk sabuk hijau di sepanjang pantai dan tepi sungai. Dalam konteks di atas, berdasarkan karakteristik lingkungan, manfaat dan fungsinya, status pengelolaan ekosistem mangrove dengan didasarkan data Tataguna Hutan Kesepakatan (Santoso, 2000) terdiri atas :
·         Kawasan Lindung (hutan, cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman laut, taman hutan raya, cagar biosfir).
·         Budidaya (hutan produksi, areal penggunaan lain).
Perlu diingat di sini bahwa wilayah ekosistem mangrove selain terdapat kawasan hutan mangrove juga terdapat areal/lahan yang bukan kawasan hutan, biasanya status hutan ini dikelola oleh masyarakat (pemilik lahan) yang dipergunakan untuk budidaya perikanan, pertanian, dan sebagainya.
Saat ini dikembangkan suatu pola pengawasan pengelolaan ekosistem mangrove partisipatif yang melibatkan masyarakat. Ide ini dikembangkan atas dasar pemikiran bahwa masyarakat pesisir yang relatif miskin harus dilibatkan dalam pengelolaan mangrove dengan cara diberdayakan, baik kemampuannya (ilmu) maupun ekonominya. Pola pengawasan pengelolaan ekosistem mangrove yang dikembangkan adalah pola partisipatif meliputi : komponen yang diawasi, sosialisasi dan transparansi kebijakan, institusi formal yang mengawasi, para pihak yang terlibat dalam pengawasan, mekanisme pengawasan, serta insentif dan sanksi (Santoso, 2000).
               
KESIMPULAN

·         Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem pesisir yang unik dan khas yang bernilai ekologis dan ekonomis.
·         Mengingat aktivitas manusia dalam pemanfaatan hutan mangrove, maka diperlukan pengelolaan mangrove yang meliputi aspek perlindungan dan konservasi.

DAFTAR PUSTAKA

Dahuri, M., J.Rais., S.P. Ginting., dan M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumber DayaWilayah Pesisir Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta, Indonesia.
Idawaty. 1999. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Lansekap Hutan Mangrove
IUCN - The Word Conservation Union. 1993. Oil and Gas Exploration and Production in Mangrove Areas. IUCN. Gland, Switzerland.
Kaswadji, R. 2001. Keterkaitan Ekosistem Di Dalam Wilayah Pesisir. Sebagian bahan kuliah SPL.727 (Analisis Ekosistem Pesisir dan Laut). Fakultas Perikanan dan Kelautan IPB. Bogor, Indonesia.
Lawrence, D. 1998. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Alih bahasa oleh T. Mack dan S. Anggraeni. The Great Barrier Reef Marine Park Authority. Townsville, Australia.
Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Alih bahasa oleh M. Eidman., Koesoebiono., D.G. Bengen., M. Hutomo., S. Sukardjo. PT. Gramedia Utama. Jakarta, Indonesia.
Santoso, N., H.W. Arifin. 1998. Rehabilitas Hutan Mangrove Pada Jalur Hijau Di Indonesia. Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove (LPP Mangrove). Jakarta, Indonesia.
Santoso, N. 2000. Pola Pengawasan Ekosistem Mangrove. Makalah disampaikan pada
Lokakarya Nasional Pengembangan Sistem Pengawasan Ekosistem Laut Tahun 2000. Jakarta, Indonesia.
Supriharyono. 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Wilayah Pesisir Tropis. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta, Indonesia.

0 komentar:

Posting Komentar